Rabu, 09 Juli 2014

AKANKAH WAYANG KULIT BANJAR BISA BERTAHAN HIDUP DI ERA GLOBALISASI INI ?

Oleh : Arsyad Indradi.


Pertunjukkan lakon wayang kulit telah menjalani proses hidup dari zaman ke zaman. Pada masa kejayaan Agama Hindu dan Budha, wayang kulit adalah santapan rohani bagi penganutnya yang dibawakan oleh para biku atau pun biksu yang berpusat di Candi Penataran di Jawa Timur. Cerita yang dibawakan adalah cerita Ramayana yang disusun oleh Walmiki dan Mahabharata yang disusun oleh Wiyasa.


Pada abad XVI , wayang kulit mengalami perubahan dan pembaharuan dalam segi makna dan sifatnya setelah Kesultanan Demak mengembangkan Agama Islam di tanah Jawa. Seorang dari Wali Sanga yang bernama Sunan Kalijaga menghapus sifat magis wayang, karena wayang bukanlah gambaran wajah roh nenek moyang yang memiliki kekuatan magis, tetapi hanya merupakan gambaran wajah tokoh cerita.

Sunan Kalijaga tidak hanya mempergelarkan lakon – lakon Ramayana ataupun Mahabharata tetapi juga mempergelarkan cerita – cerita rakyat Jawa. Dan wayang yang berupa upacara keagamaan dan pemujaan Dewa dengan cara yang rapi ditinggalkan dan menciptakan wayang Punakawan ( Semar, Petruk, Gareng dan Bagong ) dengan dagelannya sehingga para penganut agama Hindu dan Budha yang menonton wayang Triwali itu merasa lebih tertarik dari pada wayang Hindu yang membawa cerita, monoton dan membosankan. Disamping itu, tokoh Darmakasuma mempunyai ajimat Kalimasada yang pada wayang Hindu tidak ada. Yang lebih menarik lagi, dalang Triwali menggubah cerita carangan, yaitu cerita di luar ‘pakem’.

Bagaimana wayang kulit di tanah Banjar ?

Seiring masuknya agama Islam dan senibudaya dari Kerajaan Demak, setelah Raja Banjar Pangeran Suriansyah mengucapkan Duakalimahsahadat, di abad XVI itu, kesenian wayang kulit mulai diperkenalkan dan berkembang hidup di tanah Banjar.

Para dalang Banjar masih tetap sebagai pewaris Triwali, wayang kulit sebagai media da’wah agama Islam dan dimana pagelaran wayang kulit merupakan penuntun berbuat kebaikan, kebenaran, keadilan, kejujuran, dan patriotisme.

Dalam perkembangan wayang kulit di tanah Banjar, ada pagelaran wayang kulit berupa ‘manyampir’ namun ‘sampir’ ini oleh dalang yang beragama Islam bukanlah ’haul’ atau memperingati para arwah nenek moyang dengan segala sesajennya melainkan upacara selamatan yakni menghaul nenek moyang dan ‘tulak bala’, dengan doa selamat dan doa arwah.

Pertunjukkan wayang kulit sangat digemari oleh rakyat ( masyarakat ) Banjar. Jika ada acara hari besar baik nasional maupun daerah, acara perkawinan atau pun acara lainnya, pertunjukan wayang tak luput dari penonton yang berlimpah ruah. Penontonnya tentu saja beragam, orang – tua, dewasa, remaja bahkan anak – anak. Apalagi jika dalangnya ‘Tulur’ ( dari desa Barikin Kabupaten Hulu Sungai Tengah ) seorang dalang senior yang sangat terampil memainkan wayang dan menuturkan cerita. Seorang dalang yang konon dapat mengusir hujan manakala sedang berlangsung pertunjukkan wayang kulit. Setelah dalang Tulur meninggal, dalang ‘Utuh Aini ( dari Banjarmasin ) melanjutkan kehidupan wayang. Dalang Utuh Aini meninggal, dilanjutkan oleh dalang Rundi, Busrajuddin dan Pedalang lainnya..

Namun tampaknya beberapa tahun ini kehidupan wayang kulit Banjar semakin berkurangpenontonnya dan kekhawatiran matinya wayang Banjar sangat beralasan.

Di era globalosasi ini, peradaban manusia semakin bergeser dari porosnya, ilmu pengetahuan dan teknologi semakin maju. Maka apakah wayang kulit masih bertahan pada paradigma lama ? Wayang kulit seyogyanyalah merubah sikap, meninggalkan paradigma lama itu, pandai mengikuti perkembangan zaman dan lebih lagi berani bersaing dengan tayangan yang ada di TV atau pun di tempat pertunjukkan lainnya.

Dalam hal ini, Pedalang itu sendiri harus inovatif. Merenovasi seluruh keberadaan wayang kulit seperti belincongnya memakai lampu listrik, kelir yang berornamen indah dan selalu diganti kalau sudah kadaluarsa, sound systim yang memadai apalagi kalau bisa yang canggih, dalang dan seluruh crew penabuh gamelannya berkostum seragam daerah Banjar. Dari sisi irama musik, agar tidak monoton, disamping lagu yang ada seperti lagu lasam sepuluh ( sebagai pembuka dari dalang ), lagu ayakan, lagu paparangan ancap dan paparangan alun, dan lagu liong perlu mengaransir lagu lain sebagai pemerkaya irama musik untuk plot atau suasana cerita. Perangkat gamelan selalu distim agar menghasilkan paduan musik yang harmonis. Perletakkan jejer wayang di atas gadang ( gedebuk ) benar – benar artistik. Dan tak kalah pentingnya selalu menciptakan cerita sesuai dengan tuntutan zaman namun tidak lepas dari pakemnya.

Umumnya pertunjukkan wayang adalah semalam suntuk. Tetapi ini perlu juga kita petimbangkan. Seperti halnya pertunjukan teater teradisional “ Mamanda “. Pertunjukkan Mamanda dapat menuntaskan cerita dalam durasi dua atau tiga jam. Alhasil, setiap pertunjukkan Mamanda selalu berjobel penontonnya.

Nah, bagaimana pertunjukkan wayang ?

Ada beberapa solusi lain untuk kembali menggairahkan kehidupan wayang kulit Banjar. Tentu saja ini ada kaitannya dengan PEPADI Komda Tingkat I Kalimantan Selatan. PEPADI perlu merancang program kerja dan melaksanakannya seperti sarasehan, seminar, diskusi tentang wayang Banjar atau bentuk lainnya. PEPADI sedini mungkin menyiapkan kader – kader Pedalang dan penabuh gamelan baik tingkat anak – anak sampai tingkat dewasa seperti mengadakan work shop dalang atau khusus pelatihan menyindin dan teknik memainkan wayang dan berupaya memproduksi wayang.

Dan adanya kerja sama yang baik ( program terpadu ) antara Disparsenibud, Dewan Kesenian ( andai ada yang masih hidup ) dan PEPADI seperti menyelenggarakan Festival pertunjukkan wayang kulit, lomba mendalang baik tingkat anak – anak sampai tingkat dewasa, lomba menyindin, lomba mengarang cerita wayang, dan mengadakan pagelaran wayang kulit pada acara perayaan misalnya hari besar nasional dan daerah. DPRD, Gubernur, Bupati dan Walikota sebagai fasilitator yang selalu memback up finansialnya. Disamping itu tak ketinggalan masyarakat Banjarnya. Masyarakat Banjar tetap menumbuhkan kepedulian dan kecintaan terhadap wayang sebab seni wayang adalah salah satu khasanah senibudaya daerahnya dan salah satu pusaka peninggalan ‘urang bahari’ nang harus kita partahanakan sampai kamati. Semoga.******

MADIHIN, SASTRA BANJARNYA URANG BANJAR



Oleh : Arsyad Indradi 

Ada yang berpendapat bahwa madihin berasal dari kata madah, yaitu sejenis puisi lama dalam sastra Indonesia. Madah merupakan syair yang mempunyai rima yang sama pada suku akhir kalimat. Madah mengandung puji - pujian, nasehat atau petuah. Tetapi dalam perkembangannya humor atau lulucuan, sindiran yang sehat, tak ketinggalan disuguhkan olehPamadihinan ( orang yang membawakan madihin ) sebagai bumbu. 

Kehidupan Madihin seperti juga balamut, Sastra Banjar yang hampir tipis, bahkan mengalami kerisis kemusnahannya. Sastra Banjar Madihin jarang ditampilkan dalam acara – acara hiburan hari – hari besar atau acara perayaan daerah misalnya pada hari jadi kota, kabupaten atau pun pada hari jadi provinsi. Setelah di tahun 1970 – an tak pernah ada lagi perlombaan atau pertandingan Madihin. 

Jarang atau dapat dihitung dengan jari orang yang berminat menjadi Pamadihinan. Agar menjadi Pamadihinan yang mengarah kepada pemain profisional, ia harus memiliki keterampilan dalam bamadihin. Keterampilan itu antara lain : Menguasai lagu khas madihin, terampil memukul tarbang dengan irama sebagai pukulan pembuka atau membunga, pukulan memecah bunga, pukulan menyampaikan isi pesan, dan pukulan penutup. Seorang Pamadihinan juga harus mempunyai suara atau vokal yang lantang dan merdu. Disamping hapal naskah syair, ia juga terampil berimpropisasi yaitu secara spontan menciptakan syair tanpa dipersiapkan terlebih dahulu. Memang seorang pamadihinan perlu latihan yang terus – menerus agar dapat menjadi Pamadihinan yang profisional. 

Banyak pendapat mengenai asal mula Sastra Banjar  Madihin. Ada yang mengatakan berasal dari Kecamatan Angkinan yaitu di kampung Tawia, Hulu Sungai Selatan Kalimantan Selatan. Pendapat ini berpijak pada bahwa Pamadihinan banyak tersebar di pelosok Kalimantan Selatan berasal dari kampung Tawia bernama Dulah Nyangnyang. 

Ada juga yang berpendapat Sastra Banjar Madihin berasal dari Kecamatan Paringin, Kabupaten Hulu Sungai Utara Kalimantan Selatan, sebab dahulu Dulah Nyanyang lama bermukim di ingin dan mengembangkan madihin di sana. 

Tetapi ada juga yang berpendapat Sastra Banjar Madihin berasal dari utara Kalimantan yang berbatasan dengan negara Malaysia ( Malaka ), sebab madihin banyak dipengaruhi oleh syair melayu dan gendang tradisional semenanjung Malaka. Tarbang ( gendang ) yang dipakai bamadihin ada persamaan dengan gendang yang dipakai oleh orang – orang Malaka dalam mengiringi syair atau pantun melayu. 

Apa pun pendapat ini. Namun yang jelas bahwa madihin menggunakan bahasa Banjar, Pamadihinannya etnik Banjar. Madihin adalah kesenian tradisional Banjar yang khas Banjar yang tidak ada pada etnik lain di Nusantara. 

Madihin sudah ada diperkirakan tahun 1800 yaitu setelah Islam masuk dan berkembang diKalimantan. Lahirnya madihin banyak dipengaruhi oleh kesenian Islam yaitu kasidah dan syair – syair bercerita yang dibaca oleh masyarakat Banjar. 

Madihin pada umumnya dipergelarkan pada malam hari, tetapi sekarang pada siang hari. Durasi pagelaran sekitar 1 sampai 2 jam sesuai permintaan penyelenggara. Pagelaran madihin umumnya di lapangan terbuka yang dapat menampung penonton yang banyak. Panggung yang diperlukan ukuran 4 x3 meter. Ada juga di halaman rumah, di muka kantor atau balai. Sekarang sering pula dipergelarkan di dalam gedung. 

Membawakan madihin ada yang hanya satu Pamadihinan yakni pemain tunggal.Pemain tunggal ini membawakan syair dan pantunnya harus pandai membawa timber atau warna suara yang agak berbeda seperti orator. Ia harus pandai menarik perhatian penonton dengan humor segar tetapi sesuai dengan batas etika. Ia harus benar – benar sanggup dengan memukau dengan irama dinamis pukulan terbangnya. Tetapi umumnya dibawakan 2 Pamadihinan, malah sampai 4 Pamadihinan. Jika 2 Pamadihinan berduet maka pemain ini biasanya beradu atau saling bertanyajawab, saling sindir, saling kalah mengalahkan melalui syair yang dibawakan. Aturannya adalah Pamadihinan yang satu membuka hadiyan, kemudian disambut oleh Pamadihinan yang kedua, dan seterusnya saling bersahuta. Andaikan ada 4 Pamadihinan maka terbagi dua kelompok, masing – masing 2 Pamadihinan., penampilannya seperti halnya yang dua Pamadihinan, tapi kelompok yang satu bisa membantu anggota kelompoknya melawan kelompok yang dihadapinya. Biasanya kelompok ini berpasangan pria dan wanita yaitu duel meet. Duel meet ini merupakan beradu kaharatan ( kehebatan ). Dalam duel ini, kelompok 1 memberi umpan dengan syair tertentu. Kelompok 2 harus dapat mengulangi atau menjawab, selanjutnya harus memberi umpan balik, yang harus diulang oleh kelompok I. Mereka saling bertanya jawab, saling menyindir, saling kalah mengalahkan. Demikian seterusnya. 

Ada pun kelompok yang kalah apabila tidak bisa atau tidak dapat mengulang atau menjawab kelompok lawannya. Kelompok yang kalah akan mengangkat bendera putih. 

Pamadihinan duduk di kursi dengan memakai baju Banjar yaitu taluk balanga dan memakai kopiah serta sarung. Tetapi sekarang sudah berpakaian bebas dan sopan, kecuali pada acara – acara penting, misalnya menghibur tamu pejabat atau menghibur acara pisah sambur pejabat, dan lain – lain. 

Madihin umumnya berfungsi : 
1. Dahulunya menghibur raja atau pejabat istana. Syair yang dibawakan bersifat pujian. 
2. Sebagai hiburan masyarakat acara tertentu, misalnya hiburan habis panen, memeriahkan pengantin, peringatan hari besar nasional dan daerah. 
3. Sebagai nadar atau hajat misalnya bagi orang tua yang anaknya baru sembuh dari sakit, upacara meayun anak yaitu upacara daur hidup etnik Banjar dan juga pada acara sunatan ( kitanan ). 
4. Sebagai media informasi, penyampaian pesan pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah misalnya keluarga berencana, Pertanian, pendidikan, kesehatan, pemeliharaan nilai dan moral, wahana memperkokoh persatuan kesatuan , dan lain– lain. 

Struktur pergelaran sudah baku, yaitu terdiri atas : 
1. Pembukaan, 
yaitu melagukan sampiran sebuah pantun yang diawali dengan pukulantarbang yang disebur pukulan pembuka. Pembuka ini merupakan informasi tema yang akan dibawakan. 

Contoh :
Ilahi ….. 
lah riang … lah riangt riut punduk …. Di hutan 
riang riut punduk di hutan … kaguguran ….
kaguguran buah timbatu …. 

2. Batabi, 
yaitu syairnya atau pantun yang isinya penghormatan pada penonton, pengantar, ucapan terima kasih, dan permohonan maaf dan ampun jika ada terdapat kesasahan atau kekeliruan dalam pergelaran. 

Contoh : 
maaf ampun hadirin barataan
baik nang di kiri atawa di kanan 
baik di balakang atawa di hadapan 
baik laki – laki atawa parampuan 
baik urang tuha atawa kakanakan 
baik nang badiri atawa nang dudukan 
ulun madihin sahibar bacucubaan
tarima kasih ulun sampaiakan 
kapada panitia mambari kasampatan 
kalu tasalah harap dimaafakan
tapi kalu rami baampik barataan 

3. Mamacah bunga , 
yaitu menyampaikan syair atau pantun sesuai dengan isi tema yang dibawakan. 

Contoh : 
baampik …. barataan 
babulik kaawal papantunan 
handak dipacah makna sasampiran 
supaya panuntun nyaman mandangarakan

riang riut punduk di hutan 
kaguguran kanapa buah timbatu
irang irut muntung kuitan 
mamadahi kaina anak minantu 

minantu mayah ini lain banar bahari 
guring malandau lacit katangah hari 
kada bamasak sabigi nasi 
dipadahi mintuha kada maasi
kalu malam tulak pamainan 
padahal pamainan dilarang tuhan 
urang macam itu bungul babanaran 
bisa – bisa mati karabahan jambatan 

4. Penutup, 
yaitu kesimpulan dari apa yang baru disampaikan, sambil menghormati penonton, dan mohon famit, serta ditutup dengan berupa pantun – pantun. 
Contoh : 
tarima kasih ulun sampaiakan 
kapada hadirin sabarataan 
mudahan sampian kalu ingat kaganangan 
kapada diri ulun pamadihinan 

ulun madihin sahibar mamadahakan 
handak manurut tasarah pian barataan 
sampai di sini dahulu sakian 
mohon pamit ulun handak batahan 
rama – rama batali banang 
kutaliakan ka puhun kupang 
sama – sama kita mangganang 
mudahan kita batamuan pulang

ilahi …. 
sadang batahan, sadang barhanti …

Diharapkan kepada semua pihak yang terkait terutama lembaga kesenian seperti Dewan Kesenian, Pariwisata, atau lembaga pendidikan lainnya agar peduli kepada keberadaan madihin yang semakin langka. Semoga Sastra Banjar yang dimasukkan ke dalam mata pelajaran muatan lokal di sekolah – sekolah menjadikan siswa minimal mengetahui kekayaan khasanak senibudaya daerahnya dan begitu indahnya kesenian daerah yang tak kalah dengan kesenian modern lainnya dalam zaman globalisasi ini. Semoga.

Lamut Sastra Banjarnya Urang Banjar

Oleh : Arsyad Indradi


Lamut adalah salah satu sastra Banjar atau dikatakan juga cerita bertutur yang dikhawatirkan suatu saat nanti akan punah. Disebabkan hampir tidak ada lagi yang berminat untuk menjadiPalamutan ( orang yang bercerita lamut ), dan tidak ada yang peduli dari masyarakat banjar itu sendiri, lembaga atau instansi senibudaya untuk melestarikian kehidupan Lamut yang semakin langka ini. 


Mengapa dikatakan Lamut ? Ada yang mengatakan bahwa lamut diambil dari nama seorang tokoh cerita di dalamnya, yaitu Paman Lamut seorang tokoh yang menjadi panutan, sesepuh, baik dilingkungan kerajaan atau pun masyarakat seperti halnya Semar dalam cerita wayang. Tetapi ada juga yang berpendapat bahwa lamut berasal dari kesenian Dundam yaitu cerita bertutur dengan menggunakan instrumen perkusi yaitu tarbang, Bercerita sambil membunyikan ( memukul ) alat tersebut. 

Konon, pendundam ketika membawakan ceritanya tidak tampak atau samar – samar dalam gelap. Cerita yang dibawakan adalah dongeng kerajaan Antah Berantah. Sedang berlamut, pelamutannya tampak oleh penonton dan ceritanya menurut pakem yang ada walau tak tertulis. Cerita yang dikenal masyarakat Banjar yakni cerita tentang percintaan antara Kasan Mandi dengan Galuh Putri Jung Masari. Kasan Mandi adalah putera dari Maharajua Bungsu dari Kerajaan Palinggam Cahaya, sedangkan Galuh Putri Jung Masari adalah putri dari Indra Bayu, raja dari Mesir Keraton. Kasan Mandi kawin dengan Galuh Putri Jung Masari melahirkan seorang putra bernama Bujang Maluala. Di dalam cerita ini ada tokoh antagonis bernama Sultan Aliudin yang sakti mandraguna dariLautan Gandang Mirung yang jadi penghalang, dan terjadi perang tanding. Kasan Mandi dibantu oleh paman Lamut bersama anak – anaknya yaitu Anglung, Anggasina dan Labai Buranta, akhirnya Sultan Aliudin kalah.

Berlamut sudah ada pada zaman kuno yaitu tahun 1500 Masehi sampai tahun 1800 Masehi tetapi bercerita tidak menggunakan tarbang. Ketika Agama Islam masuk ke Kalimantan Selatan, setelah Raja Banjar Sultan Suriansyah, barulah berlamut memakai tarbang. Sebab kesenian Islam terkenal dengan Hadrah dan Burdahnya. 

Seiring dengan pesatnya penyebaran agama Islam, kesenian Islam sangat berpengaruh pada perkembangan kebudayaan dan kesenian Banjar. Syair – syair dan pantun hidup dan berkembang dalam masyarakat. Dan lamut juga mendapat tempat yang strategis dalampenyebaran Islam di masyarakat Banjar. 

Ketika Sultan Suriansyah masuk Islam, banyak kebudayaan dan kesenian Jawa yaitu dari Demak ( Jawa Tengah ) berbaur pada kebudayaan dan kesenian Banjar, maka tak heran Lamut mendapat pengaruh juga dari Wayang Kulit yaitu dialognya mirip dialek wayang. Lamut bukan saja berkembang di seluruh pelosok Kalimantan Selatan tetapi juga sampai di Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur. 

Sastra Banjar "Lamut " ditampilkan pada umumnya pada malam hari sebagai hiburan masyarakat Banjar pada acara perkawinan, manyampir yaitu berkaitan dengan tradisi keluarga, dan perayaan hari – hari besar atau daerah. Durasi penampilan lamut biasanya 3 jam sampai 5 jam. 

Palamutan membawakan cerita duduk di sebuah meja kecil bernama cacampan yang berukuran 1,5 x 2 meter. Cacampan ini diberi titilaman ( tilam kecil ). Pada waktu dulu, di hadapan palamutan disediakan parapen ( perapian ) dupa kemenyan yang selalu berasap dan sebiji kelapa muda yang sudah dipangkas untuk minuman palamutan. Penonton lamut biasanya duduk melingkar seperti tapal kuda. 

Lamut termasuk teater tutur yang mempunyai komponen cerita, sutradara atau dalang, penokohan, penonton, dan tempat pertunjukan. Pelamutan sekaligus sebagai sutradara atau dalang yang menciptakan karakter meskipun sudah ada pada pakem. 

Lamut berfungsi : 
l. Sebagai media da’wah agama islam dan muatan pesan – pesan pemerintah atau pesan dari pengundang lamut. 
2. Sebagai hiburan 
3. Manyampir, yaitu tradisi bagi keturunan palamutan. 
4. Hajat seperti untuk tolak bala atau doa selamat pada acara kelahiran anak, kitanan atau sunatan, mendapat rejeki. Menurut kepercayaan, kalau msnyampir dan hajat ini tidak dilaksanakan maka akan membuat mamingit yakni menyebabkan sakit bagi yang bersangkutan. 
5. Sebagai pendidikan terutama mengenai tata kerama kehidupan masyarakat Banjar. Biasanya petatah petitih berupa nasehat, petuah atau bimbingan moral.

Lamut mempunyai struktur lakon, yaitu : 
1. Sebelum memulai cerita, Pelamutan terlebih dahulu membunyikan tarbnang dengan nyanyian pembukaan yang terdiri dari syair – syair dan pantun. 
2. Narator dan berdialog dilaksanakan dengan terampil oleh pelamutan sendiri. 
3. Antara babak –babak lakon selalu diselingi dengan lelucon atau dagelan. 
4. Ditutup kembali dengan bunyi – bunyian tarbang yang dinamis. 

Cerita pada lamut merupakan cerita terdahulu dari turun temurun, pakem yang tidak tertulis. Sebab tidak ada buku – buku yang merupakan pakem cerita lamut. Oleh karena itu, tidak jarang pelamutan membawakan kisah terjadi ada penambahan dan pengurangan pada cerita semula, bahkan ada yang keluar sama sekali dari carangan ( pakem ). 

Sebenarnya pakem yang ada adalah bermula pada sebuah kerajaan yang diperintah oleh seorang raja bernama Jaya Sakti yang berputra kembar , bernama Indra Bungsu dan Indra Bayu. Indra Bungsu berputra bernama Kasan Mandi, sedangkan Indra Bayu berputri Galuh Putri Jung Masari. Kasan Mandi kawin dengan Galuh Jung Masari dan melahirkan Bujang Maluala. 

Bujang Maluala kawin dengan putri maharaja Cina bernama Dandan Amas Salian Kacamelahirkan seorang putra bernama Bujang Busur. Bujang Busur kawin dengan Hindawan Bulan melahirkan Bujang Jaya. Bujang Jaya kawin dengan putri Walayu Galuh Mamagar Sari. 

Setiap dinasti ini mempunyai cerita tentang percintaan, perang dengan adu kesaktian. Dan tokoh – tokoh yang selalu hadir yaitu Paman Lamut, Anglung, Anggasina dan Labai Buranta, sebagai pendamping setia, penasihat dan panglima perang dari putra –putra raja tersebut. 

Setelah dinasti Bujang Bungsu, cerita lamut sudah mengalami perkembangan cerita oleh pelamutan yakni menciptakan cerita baru yang lebih menarik, tetapi masih di dalam suatu pakem. Memang kreativitas pelamutan sangat diperlukan agar cerita lebih menarik, baik bumbu dialog maupun gaya ceritanya. 

Dalam pengembangan cerita dapat pula mengambil dari cerita Panji, cerita Andi – Andi, tutur candi, dongeng seribu satu malam, atau pun cerita rakyat, tetapi dalam cerita itu ada tokoh utama Lamut berikut anak – anaknya Anglung, Anggasina dan Labai Buranta. 

Instrumen sebagai penunjang lakon yang digunakan oleh pelamutan adalah sebuah tarbang lamut. Tarbang ini bentuknya seperti rebana namun lebih besar, dengan ukuran berdiameter 45 sampas 60cm, terbuat dari kayu seperti kayu nangka, kayu sepat, kayu kursi atau kayu apa saja yang asal liat ( keras ), diberi kulit kambing kemudian disimpai sedemikian rupadengan rotan. Agar mengencangkan kulit tersebut diberi pasak kayu pada penampang bagian belakang tarbang dan dipasak dengan batangan rotan bagian dalamnya. 

Pelamutan setelah memukul tarbang dengan beberapa irama, sebagai tradisi maka ia menghaturkan salam kepada penonton dengan berpantun sebagai pembuka. Pantun tersebut antara lain : 

Tabusa salah sarai sarapun 
Bawa balayar kuliling nargi 
Lamun tasalah banyak-banyak maminta ampun 
Kisah Banjar dibawa kamari 

Pinang anum barangkap – rangkap 
Pinang tuha barundun – rundun 
Lawan nang anum maminta maap 
Lawan nang tuha maminta ampun 

Kemudian dilanjutkan dengan bersyair, merupakan ungkapan bermacam peristiwa, dengan berlagu. 
Antara lain : 

Bismillah itu mula pang ku bilang 
Kartas pang dawat jualan dagang 
Kartasnya putih salain lapang 
Pena manulis di kartas lapang 
Bukan badanku pandai mangarang 
Hanya taingat di dalam badan 

Syair tidak sembarang ucap, tetapi berplot, seperti berikut ini : 
Hanyarkurait pulang kaya bilaran 
Satu pang tali, dua pang lalaran 
Katiga tungkat, ampat pang ukuran 
Kalima jarum, anam kulindan 
Tujuh kompas, lapan padoman 
Kasambilan teori politik 
Kasapuluh lawan aturan 

Syair yang mengungkapkan sebuah negeri atau kerajaan yang kaya raya, makmur sejahtera. 
Antara lain : 

Nargi Palinggam Cahaya mimang sugih 
Handak malunta ada hundang 
Bajanggut amas, sisiknya pirak, matanya intan 
Lah jua baisi jukung bapangayuh bagiwas 
Ulin manggis, bapananjak buluh parindu 

Ada beberapa prosa lirik merupakan monolog dalam mengungkapkan jalam cerita, maupun keindahan atau kecantikan seseorang. Misalnya :
Bengkengnya Galuh Putri Jung Masari dalam mahligai. Sabagaimana kambang nang sadang harum – harumnya. Rupa bungas, rupa nang langkar, manisnya. Bakambang goyang, bagalang di batis. Anak rambutnya malantang wilis. Putih kuning kuku panjang nipis nang kaya gambar ditulis. 

Kemudian penuturan cerita biasanya dengan prosa lirik, seperti : 
Kasan Mandi maluncat ka atas kuda, lamut ka atas kuda Kasan Mandi. Mamukul kuda, lamut jua, tarur Kasan Mandi mambalap ka hujung kampung nargi Palinggam Cahaya.Lamut mambontel di balakang malalui Pasiban Basar. Jauh tatinggal, maka ujar Kasan Mandi : “ Paman Lamut lakasi paman , malam pacangan kadap, subuh tatarang upih, kita mudahan sampai ka rimba rimbangun. 
Salah satu pakem Lamut : 

BUJANG MALUALA 
Setelah dewasa pergi berlayar tanpa tujuan, ditengah lautan tidak disangka – sangka kapalnya dilanda topan sehingga kapalnya hancur., dan kapalnya terapung hanyut sesat ke banua Cina. 

Bujang Maluala beserta ponakawannya Lamut, Anglung, Anggasina, dan Labai Buranta menyamar seperti orang Cina, dan masing – masing merubah nama yang disesuaikan dengan nama orang cina. 

Kerajaan Cina sangat besar, rajanya bernama Tiung Dermawan mempunyai putri bernama Dandan Amas Salian Kaca serta amban. Benua Cina ini bernama Siming Dermaya. 

Bujang Maluala merindukan putri raja meskipun dia belum pernah bertemu Cuma mendengar namanya saja. Kemudian dia minta agar dirinya dijual pada orang Cina itu. Lalu Lamut menjual pada raja Cina itu. Dan bertuigas sebagai pesuruh mengerjakan perintah putri di rumah. 

Tak lama kemudian Bujang Maluala jatuh sakit lalu dipukul oleh putri karena dianggap malas bekerja. Bujang Maluala melarikan diri dan melaporkan hal ihwal yang dialamainya kepada Lamut. Kemudian Lamut memberikan minyak guna – guna, maka minyak itu disapukan kepada putri, akhirnya putri jatuh cinta., kemudian Bujang Maluala kawin dengan putri, dan memperoleh putra diberi nama Bujang Busur. 

Banjarbaru, 2006


 

Sekilas Menjenguki Wayang Gung

Oleh : Arsyad Indradi 

Diperkirakan munculnya kesenian Wayang Gung di Tanah Banjar pada abad ke XVIII atau sekitar tahun 1760 M. Raja Banjar mempunyai hubungan erat dengan raja – raja di Pulau Jawa terutama Demak dan Mataram, sekitar abad ke XV. Hubungan inilah kesenian dan kebudayaan Jawa masuk ke Kalimantan. Kesenian ini antara lain adalah Wayang Orang.Wayang Orang ( Wayang Wong – Jawa ) sangat berkenan di hati suku – suku Kalimantankhususnya masyarakat Banjar. 

Bermula, kesenian wayang hidup hanya di Keraton Banjar saja, namun lama kelamaan wayang ini menyebar ke luar keraton yaitu ke masyarakat Banjar secara meluas. Menyebarnya Wayang Orang ini karena masyarakat Banjar memandang Wayang sebagai lambang hidup dan kehidupan manusia. Wayang mempunyai unsur – unsur filosofis hidup dan kehidupan, memiliki bahasa simbol yang bersifat kerohanian. Apalagi Wayang Purwa yang berkembang itu adalah memiliki mitos Sunan Kalijaga yang bermuatan ajaran filsafat Islam. Masyarakat Banjar umumnya masyarakat Melayu Banjar yang beragama Islam tak heran kesenian Wayang cepat berkembang di masyakarat Banjar ini. 

Wayang Orang yang dikenal dalam masyarakat Banjar adalah Wayang Gung. Wayang Gung merupakan kreativitas kreator “ Dalang Banjar “ dari adaptasi Wayang Wong. Wayang Gung pada akhirnya mempunyai ciri khas atau versi Banjar, dari segi teknik garapan , gamelan, kostum, propertis, gerak igal ( tari ), bahasa pengantar dan struktur pergelaran, walapun masih ada idiom – idiom dari Wayang Wong ( Jawa ). 

Wayang Gung mempunyai lima fungsi yaitu : 
Pertama, sebagai hiburan. Wayang Gung dipergelarkan manakala acara hiburan peringatan hari – hari besar baik nasional maupun daerah, acara perkawinan dan paska panen padi. 
Kedua, fungsi Didaktis. Wayang Gung merupakan media strategis untuk menyampaikan pesan – pesan yang bersifat edukatif pada masyarakat Banjar. 
Ketiga, berfungsi Filosofis. Wayang Gung banyak memiliki ajaran-ajaran mistis dalam kehidupan manusia. Mistis ini bersifat filosofis yakni berhubungan keduniaan ( lahiriah ) dan mental spritual ( batiniah ). Orang menyaksikan pertunjukan Lakon Wayang Gung sebagai refleksi diri. Banyak falsafah dan bahasa simbol hidup dan kehidupan yang dapat dipetik untuk kesadaran batin. Mitos ini diejawantahkan dalam hidup dan kehidupan sehari – hari. 
Keempat, berfungsi Nazar. Pertunjukan Wayang Gung atas permintaan seseorang atas terkabulnya maksud atau rencana seseorang itu. Nazar ini harus dipenuhi, menurut kepercayaan masyakarat Banjar kalau tidak dipenuhi akan terjadi malapetaka bagi penazarnya. 
Kelima, berfungsi ritual ( magis ). Wayang Gung diselenggarakan untuk maksud mengusir penyakit atau pun bencana. 

Dalam pergelaran Wayang Gung mempunyai bentuk empat struktur babakan. Babakan ini merupan inti struktur alur. Struktur babakan ini yaitu : 
Pertama, Mamucukani. Yaitu babakan tuturan permulaan kisah dalam bentuk sindin. dan dialog. Ada tiga dalang yang terdiri dari Dalang Sejati, Dalang Pangambar dan Dalang Utusan. Fungsi Dalang Pangambar dan Dalang Utusan adalah melengkapi tutur dari Dalang Sejati. 
Kedua, Sidang Jajar. Adalah babakan sidang Kerajaan dari para satria kerajaan membahas suatu peristiwa yang berhubungan dengan masalah – masalah yang dihadapi kerajaan tersebut. 
Ketiga, Konflik. Dalam babakan ketiga ini perang atau pertempuran antara tokoh baik dengan tokoh jahat. Keempat, Bapacah. Adalah babakan antiklimak dari konflik. Biasanya dalam Wayang Gungselalu disajikan happy Ending atau kemenangan dipihat kebaikan. 

Wayang Gung umumnya mengangkat cerita dari epos Ramayana tetapi ada juga menyajikan seperti tarian daerah atau dialog – dialog yang bersipat humor, dan memasukkan unsur pesan – pesan lain yang bersifat carangan yang disesuaikan dengan suasana penonton. 

Umumnya pelakon dari Wayang Gung merupakan pelakon yang khusus artinya setiap tokoh dilakonkan oleh pelakon tertentu. Misalnya tokoh Hanoman dilakonkan oleh seseorang yang benar – benar menggeluti dan menghayati perilaku atau karakter tokoh Hanoman. Begitu juga tokoh Dasamuka ( Rahwana ) dilakonkan oleh pelakon tertentu dan seterusnya. Tak jarang kelompok Wayang Gung mengambil pelakon dari kelompok Wayang Gung yang lain karena pelakonnya berhalangan. Oleh karena itu kelompok Wayang Gung yang terkenal karena kelompok ini banyak mempunyai pelakon yang khusus atau pelakon yang profisional. 

Kalau kita amati sejarah perjalanan Wayang Gung Banjar di Kalimantan khususnya Kalimantan Selatan, sudah dua abad umurnya. Dengan usia yang panjang ini Wayang Gung telah memperkaya khasanah seni tradisional di Kalimantan khususnya masyarakat Banjar Kalimantan Selatan. Maka Wayang Gung perlu diwariskan dengan generasi masa kini agar mereka tidak terserabut dari akar budaya nenek moyangnya. Tampaknya, di era globalisasi ini nasibnya tak berbeda dengan Wayang Kulit Banjar yang kian hari kian dilupakan orang, pada gilirannya tak mustahil akan musnah ditelan zaman. Siapa yang bertanggung jawab ? 

***  

Selasa, 08 Juli 2014

Mengapa Wayag Orang Banjar dinamakan Wayang Gung ?

Oleh : Arsyad Indradi 

Kalau kita runut dari beberapa arti yang berkembang kata wayang berarti bayang – bayang.. Wayang Kulit, yang kita saksikan adalah bayang – bayang dari wayang itu dari balik kelir yang dihidupkan oleh blincong ( lampu ). Namun dalam perkembangannya lahir sebuah bentuk kesenian baru yaitu Wayang Orang. Wayang dilakonkan oleh orang. Di Jawa dikenal dengan Wayang Wong. 

Mengapa wayang orang di Tanah Banjar dinamakan “ Wayang Gung “ ? Secara analogi mungkin Wayang Gung itu sebagai bentuk lain dari Wayang Gong di Jawa atau terjadi perubahan bunyi “ W “ ke “ G “ pada kata “ Wong “ dan “ Gung “. Tetapi berubahan bunyi tersebut kecil kemungkinannya sebab tidak ada peristiwa bahasa yang mirip seperti itu. Dan kedua kata “ Wong “ ( Jawa ) dan “ Gung “ ( Banjar ) tidak memiliki hubungan makna.sama sekali. Kata “ Gung “ dalam bahasa Banjar adalah salah satu instrumen gamelan Banjar yakni “ Agung “. Bunyi agung ini adalah sebagai penutup irama dari bunyi – bunyian instrumen gamelan tersebut. Ada kemungkinan, gerak igal ( tari ) dalam Wayang Gung sangat ditentukan oleh satuan bunyi pukulan agung, sehingga ada kecenderungan penyebutan Wayang Gung ini sebagai pengaruh gerakan pelakonnya yang mendasarkan gerakannya pada bunyi “ Gung “. 

Gung ( Agung ) dalam budaya Banjar, dianggap keramat. Konon, Lambung Mangkurat pergi ke Kerajaan Majapahit meminta Putra Majapahit yang bernama Raden Putera, yang sebenarnya tidak berwujud manusia, yang akan dijadikan suami Putri Junjuung Buih di Kerajaan Negara Dipa. Sesampainya di Kerajaan Dipa, Raden Putera memasuki istana dengan “ bajajak “ ( berpijak ) di atas agung. Seketika itu Raden Putera berubah wujud menjadi manusia yang sempurna berwajah tampan, yang kemudian berganti nama yaitu Pangeran Surianata. Sejak saat itu “ Gung “ dipandang memiliki mitos sebagai alat menjelmakan Raden Putera yang tidak berwujud manusia hingga menjadi manusia yang sempurna. 

Jadi kemungkinan besar sebutan Wayang Gung ini ada kaitan erat dengan pengaruh gerakan pelakon Wayang Gung yang berdasarkan gerarakannya pada bunyi “ Gung “ dan juga ada hubungan makna “ Gung “ pada peristiwa Raden Putera menjadi orang ( manusia ).di samping ada kemungkinan lain bahwa adanya pengejawantahan tokoh – tokoh dengankarakter yang “ Agung “ { besar ) pada Wayang Gung. Tokoh Agung ini sebagai simbol kebaikan yang dapat mengalahkan keangkaramurkaan. Dengan tiga tesa ini sebutan “ Wayang Gung “ populer di dalam masyarakat Banjar. *******

SEKILAS MENGENAL TEATER TRADISIONAL KALSEL “MAMANDA”

Oleh : Arsyad indradi 



Istemewanyanya Mamanda, bisa dimainkan dengan sebuah naskah yang utuh seperti terater modern atau hanya dengan mengatur cerita seperti garis besar cerita, babakan dan plot, sedangkan dialog dikenal dengan istilah impropisasi. Pemain – pemain Mamanda memang dikenal keahliannya berimpropisasi. Tokoh-tokoh mamanda yang baku itu adalah Raja, Mangkubumi, Wazir, Perdana Menteri,Panglima Perang, Harapan Pertama, Harapan kedua, Khadam, Permaisuri, Anak Raja ( bisa putri atau Pangeran ). Tokoh-tokoh lain sesuai cerita misalnya Raja dari Negeri lain, Anak Muda, Perampok,Jin, Belanda, atau nama dari daerah lain ( Jawa, Cina, Batak, Madura atau lainnya ). 

Seperti juga di teater modern, sebelum pertunjukkan dimulai akan dibacakan sinopsisnya, di mamanda dipaparkan lewat “ Baladon “. Baladon adalah tutur cerita dengan dibawakan berlagu dan gerak tari. Cerita mamanda bisa berkolaburasi dengan seni tari atau musik. Yakni setelah kerajaan selesai bersidang maka akan ditampilkan pertunjukkan tari dengan maksud menghibur raja dengan segenap aparat kerajaan atau ketika kerajaan menang perang diadakan pertunjukkan hiburan tari atau musik panting. 

Asal mula Mamanda adalah Badamuluk ketika rombongan bangsawan Malaka ( Abdoel Moeloek atau Indra Bangsawan, 1897 M ) yang dipimpin oleh Encik Ibrahim dan isterinya Cik Hawa, menetap di Tanah Banjar beberapa bulan mengadakan pertunjukkan. Teater ini begitu cepat populer di tengah masyarakat Banjar. Setelah beradaptasi, teater ini melahirkan sebuah teater baru bernama “ Mamanda “. Mamanda mempunyai pengertian “sapaan” kepada orang yang dihormati dalam sistem kekerabatan atau kekjluargaan. 

Mamanda mempunyai dua aliran. 
Pertama : Aliran Batang Banyu. Yang hidup di pesisir sungai daerah Hulu Sungai yaitu di Margasari. Sering juga disebut Mamanda Periuk. 
Kedua : Aliran Tubau bermula tahun 1937 M. Aliran ini hidup di daerah Tubau Rantau. Sering dipentaskan di daerah daratan. Aliran ini disebut juga Mamanda Batubau. Aliran ini yang berkembang di Tanah Banjar. 

Pertunjukkan Mamanda mempunyai nilai budaya Yaitu pertunjukkan Mamanda disamping merupakan sebagai media hiburan juga berfungsi sebagai media pendidikan bagi masyarakat Banjar. Cerita yang disajikan baik tentang sejarah kehidupan, contoh toladan yang baik, kritik sosial atau sindiran yang bersifat membangun, demokratis, dan nilai-nilai budaya masyarakat Banjar. 

Bermula, Mamanda mempunyai pengiring musik yaitu orkes melayu dengan mendendangkan lagu-lagu berirama melayu, sekarang beralih dengan iringan musikpanting dengan mendendangkan Lagu Dua Harapan, Lagu Dua Raja, Lagu Tarima Kasih, Lagu Baladon, Lagu Mambujuk, Lagu Tirik, Lagu Japin, Lagu Gandut , Lagu Mandung-Mandng, dan Lagu Nasib. ******** Minggu, 25 Mei 2008

Wisata Alam Borneo Masih Menunggu Keajaiban

: Yanni Kal-Sel 

Wisata Alam Borneo/(terutama Loksado) Menunggu Keajaiban Masa Emas Industri wisata kita kini tinggal kenangan, Jeram Loksado - Amandit tak terlihat liar lagi menghilirkan Wisatawan Mancanegara, jalan raya mulus yang kita hamparkan, hotel dan cottages serta fasilitas yang kita bangun seakan tak lagi menarik Wisman.. Promosi, road show, simposium, seminar seakan hanya memberikan jarum tumpul untuk merenda kembali kejayaan itu. Jaman telah berubah Era wisata massal telah berakhir diperparah pula oleh pembabatan hutan yang tak terkendali, maraknya demo bagian dari reformasi kebablasan, bencana bertubi-tubi, Bom Bali dan beberapa seri yang mengikutinya membuat usaha wisata kita sekarat. Adakah harapan dan keajaiban yang mengangkat kembali pariwisata sebagai kekuatan ekonomi yang tak pernah habis ? Lokalkan pikiran namun bertindaklah global. 

Berbeda dengan hutan dan tambang jika dieksploitasi akan habis dan sangat sulit untuk pulih, Pariwisata adalah sumber daya ekonomi yang seakan tak pernah habis. Data Pariwisata Dunia menunjukkan tahun 2005 hampir 1 Milyar manusia berpergian ke luar Negeri (WTO 2005) jika keadaan ini diasumsikan 10 % yang melakukan wisata maka akan dapat mempekerjakan lebih dari 130 juta orang dengan penghasilan lebih dari 3 Trilyun US $ Dollar. Jika pariwisata Loksado mampu mengambil bagian 1 orang per 50.000 Turis saja maka akan tercipta lapangan kerja untuk 65.000 orang dan akan menghasilkan dana setara Rp 1,3 Trilyun Rupiah sungguh jumlah yang fantastis. 

Pasar wisata telah berubah, konsumennya lebih bepengalaman, lebih berpendidikan, lebih mencintai lingkungan dan budaya setempat bahkan lebih kaya. Konsumen baru ini tidak hanya sekedar mencari cahaya dan mandi matahari atau sekedar mencari kesenangan baru yang berbeda sebagai bentuk pelarian dari rutinitas sehari-hari yang dibatasi waktu dan musim. Tetapi lebih kearah perpanjangan hidup yang santai, melibatkan diri dan menghayati nilai-nilai baru bukan pembenaran terhadap nilai yang mereka anut (“Barat”). Sehingga mereka cenderung menjadi bagian atau terlibat dengan masyarakat setempat dan menjadikan lingkungan sebagai Harta Karun. 

Semangat membangun (developmentalism) pariwisata dimasa lalu terkadang melebihi kebutuhan pasar dan kapasitas industri pariwisata. Tidak jarang ditemukan jalan raya yang mulus (high way) atau fasilitas eksotis (asing) terbangun ditengah hutan atau komunal adat tertentu. Hal ini terkadang paradok dengan kebutuhan wisata petualangan dan budaya. Maka dibutuhkan model pariwisata yang menggabungkan semua unsur termasuk budaya lokal dan kelestarian lingkungan. 

Kemudahan akses tanpa didukung oleh proses sosialisasi dan internalisasi nilai-nilai kepariwisataan menjadikan Desa dan Komunal adat ditarik arus centripetal modernisasi sehingga Desa dan Kumunal adat dan mulai kehilangan ciri khasnya. Atap Balai Adat suku dayak yang dahulu berbasis kayu tradisional telah berubah dipasangi seng dan asbes sehingga berkurang nilai intrinksiknya. Lemahnya dokumentasi dan promosi syair dan budaya bertutur semakin membuat rentan ketahanan aset budaya yang dimiliki. Kearifan pertanian tradisional mandiri dan otonom mulai tergantikan dengan tekhnologi yang sudah hampir pasti tidak ramah lingkungan, mekanisasi, pupuk, pestisida, bibit berlabel yang menimbulkan ketergantungan. Bentuk-bentuk makanan tradisional yang sarat unsur organik secara sistematis tergantikan oleh Mi Instant dan makanan pabrikan lainnya (junk food). Alam Lokasado yang dahulunya bersih dan sakral bisa saja dengan kemudahan akses oleh wisatawan lokal yang kurang peduli lingkungan berubah menjadi tempat sampah baru. Kemudahan akses juga dimanfaatkan oleh oknum untuk memudahkan logging sumber daya hutan ke perkotaan. 

Pangsa pasar pariwisata di Millenimum ini telah berubah dan tersegmentasi dengan tajam sehingga wisata massal dan homogen tidak lagi menjadi primadona. Pembangunan Hotel dan prasarana Wisata yang megah dan mewah pada masa ini bukanlah pilihan yang tepat dan bijak. Tingginya suku bunga, mahalnya bahan baku, upah buruh dan tekanan lingkungan dan prospek pasar merupakan kendala utama. Oleh karena itu dibutuhkan inovasi pengembangan pariwisata yang nilai investasinya rendah, berprospek pasar yang cerah dan melibatkan potensi ekonomi stake holder sebanyak mungkin. Semakin banyak masyarakat yang terlibat dalam pengelolaan pariwisata maka akan semakin merata distribusi nilai-nilai ekonomi yang ditimbulkannya. Pengembangkan potensi-potensi lokal menjadi sesuatu yang unik, menarik haruslah terus memberi visi pariwisata yang dibangun. Misalnya Pertanian tradisional yang arif dan organik (local content) serta otonom ternyata lebih rasional dari revolusi hijau yang selama ini diagungkan, bukankah revolusi hijau membuat ketergantungan baru (neokolonialisme). Sehingga dapat disimpulkan berpikir lokal bukan berarti ketinggalan jaman, tidak gaul dan tidak model asal kita mampu memberikan karakter arif dan oganik dalam setiap tindakan kita. Upaya nafas buatan untuk pariwisata yang sedang sekarat ini diantaranya : 

1. Kembalikan Desa atau komunal adat ke aslinya sebagai kesatuan adat yang mempunyai tipikal dan sifat lokasional yang bersumber daya lokal. Balai Adat, Rumah panggung atau fasilitas adat lainnya, merupakan tempat etalase atau tempat jualan wisata sehingga corak dan tatanan yang mengikutinya haruslah dijaga keaslian dan keasriannya. Orang dayak ataupun masyarakat adat lain boleh saja mempunyai rumah dengan model Spanish, Yunani, Itali (eropah kontinental), arabian dan lainnya tapi tempatnya bukan di Daerah Tujuan Wisata 

2. Pelestarian lingkungan, pencegahan pembalakan merupakan kebutuhan, pelibatan masyarakatan adat dan Lembaga Swadaya Masyarakat yang konsen dengan Adat dan Lingkungannya (Community Based Development). merupakan bagian usaha wisata. disamping itu perlu dipikirkan relokasi tempat wisata untuk wisatawan lokal yang kurang mencintai lingkungan. Dengan Kata lain diperlukan semacam hutan pendidikan sebelum wisatawan lokal (“awam”) memasuki hutan asli perawan karena hutan perawan tidak sembarang orang dapat memasukinya. 

3. Kembalilah memakan makanan tradisional organik dan sehat, pais pisang, pais sagu, apam batil, katupat, dodol, apam paranggi, cindul sagu dan sejenisnya kita kurangi ketergantungan dengan makanan olahan yang tidak sehat (junk food). 

4. Pengembangan paket wisata haruslah terintegrasi dimana masing-masing Daerah tidak berdiri sendiri melainkan sebagai sebuah kesatuan. Contohnya Paket Wisata Loksado haruslah terintegrasi dengan objek ataupun atraksi wisata daerah lain misalnya dengan petualangan hutan asli meratus di Batang Alai dan Balangan, kesenian bagandut dari Rantau, wisata kerbau rawa di Amuntai, pendulangan Intan, pasar terapung, agrowisata di Marabahan, Pleihari, memancing di Kotabaru dan potensi wisata lainnya.. 

5. Go Global sudah tersedia murah meriah yang dibutuhkan inovasi Web Site Desa atau Komunal wisata yang saling berhubungan yang selalu up to date baik untuk promosi, reservasi, calendar event dan kebutuhan lainnya. Teknologi GPRS, Telkomnet Instant, Telkom Speedy, broad band lainnya hadir dihadapan kita..

6. Rumah-Rumah adat seperti Balai, Rumah Banjar membutuhkan revitalisasi untuk menjadi situs sekaliguscore bisnis usaha wisata. Pasar-Pasar Tradisonal haruslah diberi insentif yang terbaik untuk menumbuhkan usaha ekonomi rakyat. Semoga fajar wisata borneo menyingsing lagi. 

Kandangan, 25 Juli 2006